Notification

×
Kunjungi Pengiklan

Diperiksa KPK, Gubernur Jatim Khofifah Tidak Perlu Cemas

Rabu, 09 Juli 2025 | Rabu, Juli 09, 2025 WIB Last Updated 2025-07-10T06:44:52Z



SURABAYA, 10 JULI 2025

Surabayasatu.net - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof Dr Nur Basuki Minarno SH M Hum turut berkomentar terkait ramainya pemberitaan pemanggilan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa oleh KPK.


Khofifah diketahui dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022.


Prof Basuki menilai pemanggilan Gubernur Khofifah adalah sesuatu yang lumrah terutama karena kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 


“Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Jadi kalau gubernur dimintai keterangan itu sangat wajar. Tapi yang perlu dicatat jikalau ada seseorang diperiksa sebagai saksi, belum tentu mereka terlibat,” tegas Prof Basuki pada media, Rabu (2/7/2025).


Dikatakannya, KPK dalam melakukan penyidikan tentu perlu memperoleh keterangan dari banyak sumber. Mulai dari saksi, ahli, atau keterangan tersangka. Pemeriksaan saksi ini sangat penting karena saksi inilah pihak yang mengetahui, mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa. 


“Dan saksi itupun tidak berdiri sendiri karena nantinya akan dicocokkan dan dilihat apakah memiliki kesesuaian, berelevansi dengan data yang lain,” ujarnya.


Terlebih kasus ini konteksnya adalah dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Jawa Timur. 


“Kalau gubernur tidak diperiksa ya akan menjadi aneh karena produknya pengeluaran anggaran kan pergub. Tapi kembali lagi yang ditekankan,  tidak selalu yang diperiksa sebagai saksi adalah pihak yang terlibat dalam permufakatan jahat,” imbuh Prof Basuki.


Lebih lanjut ia pun menegaskan kasus ini adalah kasus dana hibah yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022. Yang mana kasusnya adalah terkait hibah pokok-pokok pikiran (pokir).


Dana hibah ini dialokasikan untuk menindaklanjuti pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD yang didapat dari hasil reses atau rapat dengar pendapat DPRD yang menjadi bahan pertimbangan atau dasar dalam perencanaan pembangunan daerah. 


Pokir menjadi mekanisme penyaluran dana APBD untuk mendukung kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, berdasarkan usulan yang disampaikan oleh anggota DPRD. 


“Prinsipnya dalam hukum pidana siapa yang melakukan kesalahan, maka dialah yang dimintai tanggung jawab pidana. Dalam pemberian hibah pasti melibatkan eksekutif dengan legislatif dalam perencanaan dan penganggaran sampai ditetapkannya APBD,” tegas Prof Basuki. 


Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini KPK telah menetapkan 21 orang tersangka. Sebanyak 21 tersangka itu terdiri dari 4 penerima suap dan 17 pemberi suap.


Para tersangka penerima suap itu terdiri dari 3 orang penyelenggara negara dan 1 orang staf penyelenggara negara. Sementara, dari 17 tersangka pemberi suap, 15 di antaranya adalah pihak swasta, sedangkan 2 orang lainnya adalah penyelenggara negara.


“Jika kemudian dalam pelaksanaannya ada pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian daerah, maka pihak tersebutlah yang harus bertanggung jawab,” urainya. 


Hal senada juga disampaikan Pakar Hukum Administrasi Universitas Airlangga (Unair) Emanuel Sujatmoko. Ia optimistis masyarakat maupun pihak yang berwenang tak mudah tergiring opini dengan pernyataan saling serang yang dilontarkan para saksi dalam kasus ini.


“Karena APH dalam menentukan apakah itu peristiwa memuat unsur pidana atau tidak itu berdasarkan fakta-fakta hukum yang terdiri dari alat bukti dan barang bukti yang telah dikumpulkan oleh penyidik. Bukan atas penilaian ataupun asumsi dari seseorang atau saksi. Terlebih saksi yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dalam perkara tersebut,” urai Emanuel.


Diketahui, KPK telah mengirim surat panggilan pada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 20 Juni 2025 sebagai saksi terkait kasus dugaan kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur 2019-2022.


Namun, Khofifah berhalangan hadir karena jauh hari telah mengajukan cuti ke Kemendagri untuk berangkat ke Beijing, Cina pada 20-22 Juni 2025. Khofifah ke Cina untuk menghadiri wisuda putranya Jalaluddin Mannagalli Parawansa di Universitas Peking Cina. 


“Kalau berhalangan hadir dengan alasan yang sah menurut hukum, tidak bisa disebut mangkir. Saksi, ahli, atau tersangka mempunyai hak untuk menunda hadir atas panggilan tersebut dengan alasan yang sah menurut hukum,” ujarnya.


Misalnya ada tugas negara, sakit, ada keperluan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan dan biasanya disertai kapan kesanggupan untuk hadir. 


“Jika surat panggilan 2 (dua) kali disampaikan secara sah, saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah maka panggilan ketiga disertai perintah untuk membawa ke penyidik. Jadi jika pemanggilan pertama tidak hadir, tidak bisa serta merta dinyatakan upaya melarikan diri atau melepaskan diri dari tanggung jawab,” pungkasnya.


Ia pun optimis seluruh pejabat di Jatim akan menaati dan menjalankan prosedur hukum yang ada. Termasuk dalam menghadapi pemeriksaan hukum atas kasus yang saat ini sedang berlangsung.***SO

×
Berita Terbaru Update